Reef Rip Current

Hari Minggu,  18 Agustus 2024, selepas senja kami meluncur menuju lokasi lapangan thesis doktoral saya di pesisir Gunungkidul. Saya menunggu di rumah (Semanu, Gunungkidul), sedangkan tim survey berangkat dari jogja. Menjelang senja kami berangkat bersama menuju lokasi, berhenti sejenak untuk shalat maghrib dan mengisi bahan bakar.  Jalan sempit berkelok dengan cahaya minim memaksa orang dengan astigmatisme seperti saya harus menyetir dengan konsentrasi penuh. Kami meluncur melalui lembah berkelok diantara bukit-bukit batugamping Gunung Sewu. Perlahan-halan cahaya bulan menerobos pepohonan jati yang mulai meranggas, dua hari lagi puncak purnama. 

Kami sampai di penginapan sekitar Pukul 07.30 malam, di dekat Pantai Pulang Sawal ( lebih dikenal dg nama Pantai Indrayanti). Kami ber-sepuluh, semua bingung! Kacau karena ternyata tidak ada sinyal internet di penginapan. Padahal untuk set-up form dan pembuatan misi penerbangan kami butuh sinyal internet. Ternyata lokasi penginapan benar-benar seperti dikurung bukit, berada di tengah-tengah lembah, mungkin sinyal seluler enggan untuk sekedar turun berkunjung. Alhasil kami harus berjalan dulu ke lokasi yang lebih tinggi di pinggir jalan untuk sekedar mendapatkan koneksi. Dua orang lain kembali ke arah pusat keramaian terdekat ( yang notabene tidak dekat) untuk membeli kartu seluler lain, karena survei masih akan berjalan seminggu ke depan.


Tim saya bagi menjadi 4 divisi: UAV, sediment, TLS, dan profiling. Pagi-pagi sekali sekitar jam 6 kami sudah menuju ke puncak bukit di timur Pantai Pulang Sawal, menggotong 1 kardus besar berisi base station drone RTK. Saya sengaja memulai misi pemetaan drone di pagi hari untuk mengantisipasi angin kencang di pinggir pantai. Misi berjalan lancar, tapi saya kurang puas karena exposure sedimen kurang maksimal. Ombak pagi ini cukup tinggi meskipun belum mencapai kondisi pasang ( Gambar ke 3). Sepanjang hari angin ternyata begitu tenang, cuaca begitu cerah. Hampir tidak saya lihat sehelai awan pun di langit. Kondisi ini bertahan selama hampir 5 hari. Di hari ke 4 saya memutuskan mengambil data yang sama di sore hari untuk memaksimalkan exsposure sedimen saat kondisi surut maksimal ( Gambar 4).

Saat mengecek hasil akuisisi data, saya menemukan dua foto di atas yang sangat representatif untuk menggambarkan Bertujuan mengambil data profil pantai, ternyata malah dapat foto rip current ( arus retas ) yang begitu jelas di dua waktu yang berbeda. Tipe "reef rip current" seperti ini cenderung menetap karena ada celah di antara rataan terumbu, sehingga arus yang mengaarah ke pantai terakumulasi dan mengarah kembali ke lautan melalui celah tersebut. 

Gambar ini saya jadikan referensi untuk membuat ilustrasi “ reef rip current” di dua gambar pertama. Representasi kondisi bathymetri yang mampu membentuk rip current jenis ini digambarkan di ilustrasi kedua. Rip current jenis ini banyak ditemukan di sepanjang pesisir Gunungkidul karena keberadaan rataan terumbu yang terbentuk di zona pecah gelombang. Keberadaan celah antara rataan terumbu ini dapat terjadi secara alami maupun artifisial, sengaja dibuat sebagai jalan masuk perahu-perahu nelayan. Seperti halnya yang kita lihat di gambar ini, terdapat perahu-perahu yang berlabuh di pantai karena celah antar rataan terumbu lebih dalam dari area sekitarnya, sehingga perahu tidak akan kandas saat melaut atau berlabuh. 


Diseminasi informasi mengenai rip current atau arus retas, atau bolerang, atau apapun itu sebutannya, masih perlu digencarkan untuk meminimalisir jatuhnya korban. Apabila seseorang memiliki pengetahuan mengenai arus retas ; paling tidak tentang bagaimana mengenali ciri-cirinya , tentu kejadian wisatawan yang terseret arus akan banyak berkurang. Namun pada kenyataanya, konflik kepentingan antara stakeholder yang justru menjadi penghalang utama untuk fasilitasi diseminasi publik. Terdapat stigma di kalangan stakeholder, paling tidak yang saya tahu di lingkungan pemangku kepentingan di Kabupaten Gunungkidul bahwa kampanye keselamatan tentang arus retas ini seolah-olah menakut-nakuti pengunjung agar tidak datang ke pantai. Apabila hal ini memang benar, tentu akan sangat merugikan para pelaku wisata yang akan kehilangan sumber pemasukan utama. Padahal, justru mewujudkan wisata yang aman dan nyaman seharusnya menjadi prioritas dan tanggung jawab pemerintah dan pihak yang berkepentingan. Nyatanya, setiap ada kejadian pengunjung terseret arus, dan viral, kunjungan wisatawan akan turun drastis dalam beberapa minggu atau bahkan bulan. Jika upaya mitigasi dimaksimalkan dan tidak ada korban, tentu keberlangsungan kegiatan wisata dan semua penunjangnya akan lebih terjamin.

Entahlah, ini pendapat saya saja. Semoga upaya edukasi publik yang selama ini kami usahakan paling tidak bisa memberi sedikit pengetahuan untuk orang-orang yang awam tentang hal ini. Untuk deskripsi secara ilmiah bisa dibaca di tulisan saya yang lain, atau akan saya unggah di bagian jurnal di web ini.





Aku berteduh di bawah rerimbunan cemara, menatap jauh ke depan, ke batas cakrawala.

Ombak yang pecah membentuk buih-buih yang seolah berlarian menuju ke arahku.

Sekilas terlihat celah membiru di permukaan air, tak berbuih, seolah tak tertarik ikut berlomba.

Nampak tenang, tak bergeming oleh riuh ombak, seperti membisu.



Air tenang itu mengajak masuk berenang ke arahnya, mencoba menipu daya.

Saat kau terjebak, sudah terlambat untuk mencoba melawan tarikannya.

Dia nampak tenang, tapi ternyata menghanyutkan, tak kasat mata.

Meretas ombak, laiknya sungai yang deras arusnya.


 


 

 


Reef Rip Current Reef Rip Current Reef Rip Current Reef Rip Current