Semenjak kami kecil, atau bahkan sampai saat ini, pantai selalu menjadi tempat yang spesial. Untuk dapat pergi ke pantai, paling tidak harus ada momen yang spesial, misalnya libur kenaikan kelas, piknik warga dusun, atau padusan (tradisi pensucian diri sebelum bulan Ramadhan). Meskipun lokasi tempat tinggal saya tidak begitu jauh dari pantai (kurang lebih 30 km), belum tentu kami bisa (atau mau) berkunjung ke pantai tanpa ada momen spesial. Bukan soal jarak, tapi lebih ke masalah momen.
Pantai bukan tempat yang sewaktu-waktu bisa dikunjungi seperti sungai di pinggiran dusun di mana semua orang bisa singgah sekadar untuk memancing, mencuci, atau “jeguran”. Pantai memiliki stigma positif sebagai tempat wisata yang hanya bisa dikunjungi pada momen spesial, namun juga stigma negatif sebagai lokasi yang menyimpan ancaman. Mungkin itulah yang menjadi alasan kenapa pantai begitu spesial.
Saat ini, saya memandang keistimewaan pantai tentunya dengan kacamata yang berbeda. Sudah satu tahun lebih hari-hari saya tak lepas dari urusan pantai—meskipun tidak mengunjungi secara fisik, namun apa yang saya kerjakan in daily basis selalu berhubungan dengan pantai. Saya melakukan riset tentang bagaimana kondisi dinamika sedimen pada garis pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta.
Provinsi tempat saya lahir dan dibesarkan ini memang spesial dilihat dari perspektif geomorfologi dengan keanekaragaman bentuklahannya. Dua jenis garis pesisir yang sangat kontras bisa kita temukan di sini. Pertama, pesisir landai dengan pasir yang terhampar luas, tidak terputus sejauh belasan hingga puluhan kilometer sepanjang Bantul-Kulon Progo. Kedua, pesisir dengan tebing karst terjal yang diselingi kantung gisik/pasir putih yang biasa dikenal dengan pantai gisik saku/ pocket beach.
Kedua jenis garis pesisir ini muncul sebagai produk dari aktifitas tektonik lempeng pada zona subduksi. Proses pembentukan karst Gunung Sewu pada batuan gamping terumbu yang terangkat, menghasilkan gugusan perbukitan karst yang jumlahnya puluhan ribu. Garis pesisir di Gunung Sewu didominasi oleh plunging cliff, tebing terjal yang ujungnya langsung menuju ke dasar laut, diselingi oleh pantai gisik saku dengan rataan terumbu di zona pasang-surut.
Pantai gisik saku di Gunungkidul sendiri saja sudah sangat unik, mereka memiliki ukuran yang berbeda: ada yang memanjang, ada yang sempit dan melengkung dalam, dengan ukuran dan arah hadap (orientasi) yang berbeda. Perbedaan kondisi morfometri ini menyebabkan setiap pantai memiliki karakter uniknya sendiri. Lebar pantai dan orientasi akan memberikan respon yang berbeda pada agen erosional yang bekerja di dalamnya (gelombang dan arus) menghasilkan sedimen dengan karakter yang berbeda pula satu dengan yang lain.
Menuju ke arah Bantul, hamparan pasir hitam terbentang luas sejauh mata memandang memberikan kesan yang begitu berbeda. Garis pesisir ini berada pada dataran aluvial luas yang diisi aluvium (material hasil proses sungai) menjadi zona pengendapan yang berasal dari Gunung Merapi, dan berujung ke laut selatan. Pantainya memiliki pasir yang jauh lebih halus dan berwarna gelap. Pantai jenis ini digolongkan sebagai open beach system. Garis pantai tak terputus yang minim dengan hambatan fisik layaknya pantai Gunungkidul yang banyak terhalang tebing-tebing karst. Pantai jenis ini menerima energi lebih besar karena tidak ada penghalang, sehingga lebih rentan terhadap proses erosional dari arus susur pantai (longshore current).
Hal ini yang menyebabkan muara-muara sungai yang ada di pesisir selatan berbelok ke arah barat. Energi dari arah laut (gelombang dan arus) lebih kuat daripada energi dari sungai, sehingga sungai membelok ke arah dominan arus susur pantai. Selain energi arus dan gelombang, angin juga menjadi agen transpor sedimen di kawasan ini. Ukuran sedimen yang begitu halus memungkinkan proses transport oleh tenaga angin, membentuk bentuklahan gumuk pasir (coastal sand dune). Garis pesisir ini juga dulunya begitu terkenal dengan keberadaan gumuk pasir barchan yang kini sudah hilang akibat intervensi manusia (vegetasi invasif, kegiatan wisata, pun pembangunan).
Kesamaan dari kedua garis pesisir di Gunungkidul dan Bantul-Kulon Progo ini adalah karakteristik wave dominated coast berupa fitur-fitur erosional. Perbedaan kondisi pasang surut yang rendah (micro-tidal), menyebabkan proses gelombang lebih dominan. Di pesisir Gunungkidul hal ini dicirikan oleh keberadaan stack, notch, arc island, embayment sebagai produk hasil erosi pantai. Di pesisir Bantul-Kulon Progo hal ini dicirikan dengan proses pembentukan berm dan transportasi sand bar (gosong) di bawah permukaan. Proses ini juga menghasilkan bentukan ritmik seperti beach cusps, di mana proses rip current juga terjadi beriringan.
Ilustrasi ini saya buat untuk memberikan gambaran mengenai betapa spesialnya garis pesisir DIY, menunjukkan karakternya yang kontras dan kompleks. Masih banyak hal lagi yang bisa dibahas nantinya. Jika kita menelusuri dari Barat ke Timur, mungkin akan ada ratusan cerita berbeda nantinya. Mulai dari proses transpor sedimen dari Sungai Progo, sungai bawah tanah Baron, gunungapi purba Batur, lembah sungai purba Sadeng, dan masih banyak lagi.
Jadi apakah sekarang kita setuju, bahwa garis pesisir DIY juga spesial?
Article by : Hendy
Editor : Nisa